Powered By Blogger

wellcome to snipper boy

wellcome to sniper boy

Rabu, 07 April 2010

revisi cerpen

Berburuk Sangka


Karya Ulul Alfi Kurniawan


Kini aku mendekam di penjara gara–gara aku menganiaya seorang satpam. Aku merasa sedih karena aku tidak bisa bertemu keluargaku dan di sini aku berkumpul dengan orang-orang jahat,padahal aku seorang guru orang yang mestinya memberi pedoman tapi karena sifatku yang suka berburuk sangka pekerjaanku jadi hilang,andaikan waktu itu aku tidak berbuat begitu, pada waktu itu aku sedang mengantar muridku dan lomba.

“Bu, bapak berangkat dulu ya?” izinku pada istriku.

“Oh ya, Pak, hati-hati lho di jalan!” perintahnya padaku.

Aku memanasi mobil dan menyiapkan segala perlengkapan untuk ditaruh di mobil,tak lupa hp kesayanganku yang mulus segera kukantongi. Aku tinggal di Demak dan kini aku bekerja di salah satu sekolah di Purwodadi tepatnya di SLTP 1 Penawangan. Hari ini murid-muridku akan lomba olimpiade matematika di Semarang. Setelah selesai memanasi mobil aku segera berangkat.

* * *

Jalan demi jalan ku lalui. Beberapa saat kemudian aku singgah ke pom bensin untuk mengisi bahan bakar. Setelah selesai aku bergegas menuju sekolah. Sesampainya di sekolah, aku menuju kantor dan terus menuju ke tempat kerjaku.

“Pak Darman, anak – anak sudah siap tuh, untuk dianterin lomba,” perintah Kepsek padaku.

“Baik, Pak. Tapi, aku sarapan dulu ya, pak?”

“Jangan lama-lama. Nanti lombanya keburu mulai.”

Aku bergegas menuju kantin. Aku biasanya sarapan di situ karena istriku bekerja dan tidak membuat sarapan pagi.

“Bu, nasi dan ikan mangutnya, Bu!” perintahku pada ibu penjaga kantin untuk mendapatkan makanan favoritku.

“OK, Pak ini!”

“Makasih, Bu.”

Akupun makan dengan lahap. Segera kubayar pesananku.

“Berapa, Bu ?”

“Biasalah, cuma lima ribu rupiah saja.”

“Ini uangnya. Makasih, Bu.”

“Ya.”

Akupun segera menuju mobil, dan disana aku telah di nanti oleh murid–muridku.

“Ayo, Pak. Aku ingin segera memenangkan perlombaan itu !” ujar seorang muridku yang bernama Shidiq.

“Ayolah...!”

Sesampainya di tempat lomba, ku segera mamarkirkan mobilku di tempat parkir. Lalu aku menunjukkan tempat anak–anak itu lomba.

“Nah, ini tempatnya. Bapak akan tunggu kalian di sini, OK!”

“Baik, Pak!”

Tak terasa dua jam telah berlalu. Dan pengumuman disampaikan pada hari itu juga. Kami bersama–sama menunggu pengumuman itu. Tak berapa lama, hasil itu dibagikan. Kami melihat dengan cermat hasil itu. Dan ternyata Shidiqlah yang juara satu.

“Shidiq, selamat, ya. . .!” ucap teman-teman yang lain padanya.

“Sebentar, Bapak ingin memberitahukan pada guru–guru yang lain.

Aku meraba – raba kantong untuk mengambil HP kesayanganku. Dan ternyata Hpku tidak ada.

“Hpku! Mana Hpku?” teriakku.

“Di mana Pak Hpnya?” tanya muridku.

“Emangnya di mana, pak Hpnya ?” tanya salah seorang satpam yang tadi menertibkan parkir.

“Eh, tadi kamu kan, pertama kali yang saya temui saat menginjak tempat ini dan kamu juga satpam!” kataku dengan kesal kepada satpam itu.

“Ya, Pak. Memangnya kenapa?”

“Eh, kamu harus bertanggungjawab karena tidak menjalankan tugas dengan benar. Sampai, Hp saya hilang!” bentakku kapadanya.

Kulemparkan pukulan keras ke wajahnya bertubi–tubi.

“Ampun, Pak. Ampun!” teriaknya kesakitan.

Lalu aku melepaskannya dan aku pergi.

“Ayo, anak – anak kita pulang!” ajakku pada murid–muridku.

Lalu aku pulang ke sekolah dan mengantarkan murid–muridku ke rumah masing–masing. Setelah mengantar mereka, aku pulang ke rumah.

Assalamualaikum!” salamku kesal.

Waalaikum salam, kenapa to, Pak. Salam kok kayak nggak iklas gitu!”

“Bu, Hpku itu hilang di sana. Padahal ada satpam, masak sampai Hpku hilang lalu bapak bahkan bapak juga menghajarnya habis bapak kesal sekali!”

“Ya kalau hp bapak hilang di sana kalau tidak gimana?”

“Halah Ibu, sana nyapu saja!”

Lalu istriku mengambil sapu sementara aku menuju kamar.

Tak berapa lama ku dengar istriku memanggilku.

“Pak. . .!”

“Apa sih, Bu! Teriak–teriak!” kataku sambil menghampiri istriku.

“Ini apa, Hp Bapak kan...?”

“Iya, kok ada di sini?” tanyaku heran.

“Mana Ibu tahu, saat ibu nyapu, ibu lihat Hp di meja.”

“Iya, kok bisa ada di sini. Padahal tadi sudah bapak kantongi.”

“Ya, Ibu mana tahu.”

“Aduh bapak telah menuduh orang dan menganiaya hingga babak belur!” uraiku pada istriku.

“Gimana kalau Bapak besok minta maaf sama orang itu!”

Pagi harinya, aku mendatangi tempat itu lagi. Lalu aku bertanya pada penjaga yang lain.

“Pak kalau boleh tahu satpam yang kemarin rumahnya mana ya?”

“Kalau tidak salah Penggaron.”

Lalu aku menuju Penggaron dengan mobil. Sekitar sejaman saya tiba di salah satu kampung lalu aku turun dari mobil dan aku bertanya pada warga sekitar itu tentang orang yang bekerja di salah satu sekolah ternama di Semarang. Akhirnya aku menemui rumah yang salah satu penghuninya sebagai satpam.

Lalu aku masuk rumah itu dan aku melihat istrinya sedang menelepon, entah menelepon siapa.

“Hah, Bapak ngapain mau ke sini, belam puas sudah buat saya babak belur seperti ini?” tanya satpam itu dengan kesal.

“Nggak, Pak. Saya ke sini justru mau minta maaf pada Bapak, karena saya salah sangka.”

“Enak aja, maaf. Udah babak belur baru minta maaf, sebentar lagi polisi akan datang dan menangkap Anda. Karena telah menganiaya suami saya!” ucap istrinya.

“Jangan, Bu!” kataku memelasku padanya.

Beberapa saat kemudian, datang dua orang polisi yang siap menangkap saya dengan borgol dan pistol yang terselip di ikat pinggang celananya.

“Mana, Bu orang yang telah melakukan penganiayaan?” tanya polisi itu.

Saat polisi menanyakan hal itu, aku merasa ketakutan.

“Itu, pak. Orangnya yang telah menganiaya suami saya hingga babak belur begini.”

“Wah, aduh gimana ini. Aku bisa masuk penjara,” kataku dalam hati.

“Sekarang Anda ikut kami ke kantor!” kata polisi itu tegas.

“Tapi, Pak. Saya nggak salah!” kataku penuh harap.

“Sudah ada buktinya, Pak!” kata polisi itu.

“Mari, jelaskan saja di kantor!” kata polisi satu lagi sambil menyeretku ke dalam mobil polisi.

Sementara itu, istriku di rumah mungkin menghawatirkanku.

“Bagaimana ini, ya Allah bantulah hambamu yang dalam kesusahan ini,” pintaku kepada Rabbi yang Mahaagung.

Sampai di kantor polisi aku ditimpali beberapa pertanyaan yang membuat aku tambah pusing mendengarnya.

“Jadi, Pak Darman benar–benar telah menganiaya pak satpam itu?” tanya polisi mengintrogasiku.

“Aku nggak sengaja, Pak. Waktu itu. Aku sedang kesal karena Hpku hilang di tempat dia bekerja!” jelasku padanya.

“Halah, nggak sengaja, nggak sengaja! nyatanya Bapak telah menganiayanya. Seret dia ke penjara!” perintahnya kepada bawahannya.

“Ayo, ayo ikut!” bentaknya padaku sambil menyeretku menuju tempat yang paling menyeramkan di dunia ini.

Dalam benakku aku ingin istriku segera tahu kalau aku di sini,beberapa saat kemudian istriku datang.

“Lho, Ibu kok tahu kalau Bapak di sini?”

“Ibu tahu kalau Bapak di sini dari orang yang bapak aniaya tadi. Makanya jadi orang jangan suka nuduh orang sembarangan, jadinya kan begini juga kan, Pak!”

“Lho, Ibu kok malah marahin Bapak, sih?”

“Bukan marahin, Pak. Tapi nasihatin biar Bapak tidak berbuat begitu lagi!”

Istriku pulang dan pada saat itu pula atasanku juga mengetahui kalau aku sudah terkurung di sini.

“Sekarang Bapak saya pecat dengan tidak terhormat!” amarahnya padaku.

“Lho....kok bisa begitu, Pak?” tanyaku penasaran.

“Yang pasti Bapak telah mencemarkan nama baik sekolah kita,titik!”

Atasanku pergi lalu aku bertambah sedih lagi karena telah hilang pekerjaanku. Kini aku mendekam sendirian di balik terali besi ini gara-gara sifatku ini.

* * *

Tidak ada komentar: